[LAW]
Advokat sebagai profesi mulia atau officium nobile memiliki kebebasan
dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini diartikan bahwa advokat tidak terikat pada
hierarki birokrasi. Selain itu, advokat juga bukan merupakan aparat negara
sehingga advokat dihaapkan mampu berpihak kepada kepentingan masyarakat atau
kepentingan publik.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka kedudukan sosial dari advokat
yang demikian itu telah menimbulkan pula tanggung jawab moral bagi advokat yang
bukan hanya bertindak sebagai pembela konstitusi namun juga bertindak sebagai
pembela hak asasi manusia, khusunya yang berkaitan dengan hak-hak publik.
Akibat dari adanya tanggung jawab moral yang melekat pada pada status
profesinya maka advokat memiliki lima dimensi perjuangan ideal yaitu sebagai
berikut:
1. Dimensi kemanusiaan, yang diartikan bahwa walaupun advokat
menerima imbalan honorarium atau legal fee dalam melakukan perkerjaannya namun
pada dasarnya advokat tetap harus berpedoman dan menghargai nilai-nilai
kemanusiaan khususnya dalam melakukan pembelaan terhadap kliennya. Dalam
melakukan pembelaan maka harus didasarkan pada motivasi aspek kemanusiaan;
2. Dimensi pertanggungjawaban moral, yang diartikan bahwa advokat
dalam melakukan pembelaan kepada kliennya harus selalu melihat dan
mempertimbangkan dua hal pokok, yaitu adanya ketentuan hukum yang menjadi dasar
dalam melakukan pembelaan dan adanya dasar moral serta etika. Berkaitan dengan
hal tersebut maka hak atau kepentingan hukum dari klien yang dibelanya maka
tidak boleh bertentangan dengan moralitas umum ataupun etika profesi yang wajib
untuk dijunjung lebih tinggi;
3. Dimensi kebebasan, kemandirian dan independensi profesi, Hal ini
diartikan bahwa advokat ditantang untuk selalu memperjuangkan tegaknya profesi
yang mandiri, bebas dan independen dari intevensi kekuasaan dalam melakukan
pembelaan terhadap kliennya. Oleh karena itu maka untuk mendukung dimensi yang
ketiga tersebut dibutuhkan suatu organisasi advokat yang kuat serta memiliki
kode etik termasuk memiliki kapabilitas untuk membina dan menjaga kedisiplinan
anggota profesinya;
4. Dimensi pembangunan negara hukum, yang diartikan bahwa profesi
advokat dapat diimplementasikan secara ideal apabila proses penegakan hukum
juga telah berjalan secara ideal. Dengan perkataan lain, bahwa advokat memiliki
kepentingan demi profesi hukumnya dan demi kepentingan kliennya. Oleh sebab itu
maka perlu untuk dibangun esensi dari sebuah negara hukum yang ideal;
5. Demensi pembangunan demokrasi, yang diartikan bahwa suatu negara
hukum sebagaimana yang diuraikan dalam dimensi keempat hanya dapat dilaksanakan
selaras dengan pembangunan demokrasi. Ibarat suatu mata uang maka antara
pembangunan hukum dan pembangunan demokrasi dapat saling memiliki relasi.
Demokrasi hanya dapat ditegakan apabila didukung oleh negara yang berdasarkan
hukum dalam hal mana menjunjung supremasi hukum. Demokrasi akan berubah menjadi
anarki apabila tidak didukung oleh hukum. Sebaliknya, negara hukum tanpa
demokrasi akan menciptakan suatu negara yang bertipikal penindas.
Berkaitan dengan tanggung jawab moral yang dimiliki oleh advokat dan
dalam kedudukannya sebagai salah satu pilar atau penyangga dari pelaksanaan
sistem peradilan yang adil dan berimbang (fair trial) maka penulis setuju
dengan pendapat Dr. Adnan Buyung Nasution, SH, yang menyatakan bahwa advokat
memiliki peran bukan hanya sebagai pembela konstitusi namun juga
sebagai dengan pembela hak asasi manusia. Oleh karena itu, maka
advokat memiliki fungsi sosial dalam melaksanakan tugasnya. Salah satu fungsi
sosial tersebut adalah memberikan BH/bantuan hukum secara cuma-cuma khususnya
bagi kaum miskin dan buta hukum sebagai bagian dari hak asasi manusia yang
dilindungi oleh Undang-Undang.
Menurut Daniel Panjaitan, SH, LLM berpendapat bahwa pada dasarnya pelaksanaan
kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma khususnya bagi kaum miskin
dan buta hukum tersebut memiliki tujuansebagai berikut:
1. Bagian dari pelaksanaan hak-hak kosntitusional sebagaimana yang
diatur dan dijamin oleh UUD 1945 berikut amandemennya. Hak atas bantuan hukum
merupakan salah satu dari hak asasi yang harus direkognisi dan dilindungi.
Dengan mengacu kepada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 termasuk ketentuan Pasal 28
Huruf D ayat (1) dan Pasal 28 Huruf I ayat (1) UUD 1945 yang telah diamandemen
tersebut maka hak atas bantuan hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga yang
wajib dimiliki dan hanya ada di dalam sistem negara hukum. Adanya prinsip hukum
yang berdaulat (supremacy of law) dan adanya jaminan terhadap setiap orang yang
diduga bersalah untuk mendapatkan proses peradilan yang adil (fair trial)
merupakan syarat yang harus dijamin secara absolut dalam negara hukum;
2. Bagian dari implementasi asas bahwa hukum berlaku bagi semua orang.
Adanya keterbatasan pengertian dan pengetahuan hukum bagi individu yang buta
hukum untuk memahami ketentuan yang tertulis dalam Undang-Undang maka
diperlukan peran dan fungsi advokat untuk memberikan penjelasan dan bantuan
hukum;
3. Bagian dari upaya standarisasi pelaksanaan peran dan fungsi
penegakan hukum dari advokat.
Berdasarkan pada pertimbangan peran dan fungsi sosial advokat tersebut
maka kewajiban pemberian bantuan hukum oleh advokat telah diatur secara tegas
dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Dalam Pasal 22 ayat (1) tersebut dijelaskan bahwa advokat wajib memberikan
bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
Menurut penulis, bahwa pengaturan yang bersifat penegasan mengenai kewajiban
sosial advokat untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada kaum
miskin merupakan suatu hal yang patut dihargai. Hal ini mengingat bahwa dalam
suatu negara berkembang masih banyak terdapat individu atau keluarga yang hidup
miskin bahkan dibawah garis kemiskinan. Bantuan hukum yang diberikan oleh
advokat tersebut tentunya berpedoman pada penghargaan terhadap nilai
kemanusiaan termasuk didalamnya penghargaan terhadap hak asasi manusia.
Selanjutnya, kewajiban memberikan bantuan hukum tersebut diharapkan mampu
memberikan kesadaran dan pengetahuan khususnya mengenai hak-hak dari kaum
miskin yang semakin lama dimarjinalkan oleh kebijakan dan proses pembangunan.
Walaupun telah diatur secara tegas dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka penulis telah mengidentifikasi
beberapa hal yang menjadi potensi kesulitan pelaksanaan kewajiban pemberian
bantuan hukum oleh advokat. Mulai dari perihal optimalisasi pemberlakuan sanksi
yang tegas terhadap advokat yang tidak melaksanakan kewajiban memberikan
bantuan hukum secara cuma-cuma sampai dengan perihal ketiadaan tolok ukur yang
definitif untuk menentukan pihak-pihak mana saja yang dapat dikategorikan
sebagai pencari keadilan yang tidak mampu.
Dalam berbagai wacana telah dijelaskan bahwa hal-hal tersebut akan
dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana yang diperintahkan oleh Pasal
22 ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 2003. Selain itu, menurut penulis, akan muncul
kekhawatiran adanya dissinkronisasi dan disharmonisasi Peraturan Pemerintah
yang mengatur mengenai kewajiban pemberian bantuan hukum oleh advokat dengan
Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum yang telah disusun draft akademiknya oleh
berbagai pihak. Permasalahan ini pernah penulis sampaikan dalam acara Focus
Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN)
bekerja sama dengan The Indonesian Legal Resource Center (ILRC).
Perihal sanksi maka dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003
tentang telah mengatur beberapa jenis sanksi mulai dari teguran lisan, teguran
tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap. Apabila dihubungkan
dengan ketentuan Pasal 6 huruf (d) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat maka
advokat yang tidak melaksanakan kewajiban pemberian bantuan hukum secara
cuma-cuma dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan yang bertentang dengan
kewajiban profesi sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 22 ayat (1) UU Nomor
18 Tahun 2003. Oleh karena itu, maka sanksi-sanksi sebagaimana yang dijelaskan
dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 dapat diberlakukan kepada advokat
yang tidak melaksanakan kewajiban pemberianbantuan hukum secara
cuma-cuma.
Selanjutnya, pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum oleh advokat
tidak dapat dilepaskan dari peranan organisasi advokat itu sendiri. Hal
dikarenakan alasan bahwa organisasi advokat berfungsi untuk melakukan
pengawasan. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 12 ayat (1) UU
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menerangkan bahwa pengawasan terhadap
advokat dilakukan oleh Organisasi advokat. Sedangkan dalam Pasal 12
ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menerangkan bahwa
pengawasan tersebut dilakukan dengan tujuan agar advokat selalu menjunjung
tinggi kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan
tugasnya.
Sehubungan dengan perihal pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum
oleh advokat maka pengawasan yang dilakukan oleh organisasi profesi belum
dilakukan secara optimal. Adapun bentuk pengawasan yang selama ini dilakukan
oleh organisasi profesi lebih cenderung kepada adanya pelanggaran-pelanggaran
kode etik yang bukan bersifat tidak dilaksanakannya kewajiban pemberian bantuan
hukum secara cuma-cuma oleh advokat.
Adanya kondisi belum dilakukannya pengawasan secara optimal dari
organisasi profesi terhadap pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum
secara cuma-cuma oleh advokat disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu sebagai
berikut:
1. Belum dilakukannya optimalisasi pemberlakuan sanksi yang tegas
terhadap advokat yang tidak melaksanakan kewajiban memberikan bantuan hukum secara
cuma-cuma pengaturan sanksi yang tegas dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 terhadap
advokat yang tidak melaksanakan kewajiban memberikan bantuan hukum secara
cuma-cuma;
2. Ketiadaan pengaturan mengenai teknis pelaksanaan kewajiban
pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma yang seharusnya dirumuskan oleh
organisasi profesi;
Ketiadaan
pengaturan yang bersifat teknis mengenai pelaksanaan pengawasan terhadap
advokat yang tidak melaksanakan kewajiban memberikan bantuan hukum secara
cuma-cuma.