[LAW]
Sungguh gesit penegak hukum menjerat kaum yang lemah. Hanya gara-gara mencuri sepasang sandal seharga Rp 30 ribu, Seorang anak remaja harus diseret ke pengadilan. Hasil sidang memutuskan remaja 15 tahun ini bersalah. Walaupun hakim akhirnya mengembalikan remaja ini kepada orang tuanya, tetap saja tindakan itu melukai perasaan masyarakat. Rasa keadilan masyarakat tercabik lantaran, di sisi lain, penegak hukum seolah tak berdaya menghadapi penjabat atau orang kaya. Kita juga semakin prihatin lantaran penegak hukum seakan cuma berani menangani pencuri sandal, dan bukan maling kakap seperti pencuri anggaran negara.
Inilah potret buram penegakan hukum di Indonesia. Hanya karena sandal, ataupun pada kasus-kasus yang sudah-sudah seperti kakao, semangka, pisang ataupun piring rakyat kecil dengan mudahnya dipidana. Lantas mengapa kasus-kasus besar seperti Century, mafia pajak, dan beberapa kementerian terkesan jalan di tempat? Dari banyaknya aksi demontrasi dari berbagai elemen masyarakat yang mendesak agar proses hukum pada kasus anak mencuri sandal ini dihentikan ataupun pengadilan dapat membebaskan anak tersebut. Hal ini menggambarkan bagaimana masyarakat sama sekali tidak sepaham dengan apa yang telah dilakukan oleh aparat penegak keadilan. Lantas apakah yang seharusnya dilakukan terhadap kasus ini? Secara Paradigmatik tentu tiap-tiap orang memiliki kearifannya masing-masing.
Apakah sudah ingat dengan kejadian pada November 2011 silam tersebut? Saat seorang anak remaja bernama AAL (15 tahun) mencuri sandal seharga Rp 30 ribuan di rumah kos seorang polisi di Palu. Sang polisi pun memproses kasus itu ke ranah hukum. Kejaksaan Negeri Kota Palu merespons kasus ini dengan melimpahkan kasusnya ke pengadilan.
Menahan dan mengadili seorang bocah memang tak dilarang oleh UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Tapi aturan ini seharusnya tidak diterapkan secara membabi-buta. Pengadilan terhadap anak harus dilakukan dengan pertimbangan sangat matang. Itu pun cuma boleh diterapkan pada anak dengan kejahatan berat, seperti pembunuhan. Jaksa dalam dakwaannya menyatakan AAL melakukan tindak pidana sebagaimana pasal 362 KUHP Pidana tentang pencurian dan diancam 5 tahun penjara.
Hakim Pengadilan Negeri Palu Sulawesi Tengah memutuskan AAL terbukti bersalah mencuri sandal milik seorang anggota polisi. Hakim mengatakan dari fakta persidangan dan keterangan saksi-saksi, AAL secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana melanggar hukum. Namun remaja berumur 15 tahun itu tidak dikenai pidana penjara ataupun kurungan, melainkan dikembalikan ke orang tuanya. Sesuai dengan putusan hakim, AAL memang dikembalikan kepada orang tuanya. Tapi ia telanjur divonis bersalah. Stigma sebagai pencuri adalah beban yang sangat berat bagi AAL.
Di luar daripada itu, terdapat pula beberapa kejanggalan yang muncul dalam persidangan. Salah satunya ialah ternyata jaksa tidak bisa menghadirkan barang bukti. Dalam persidangan, dua orang saksi berusia 16 dan 14 tahun (dengan didampingi oleh kedua orang tua masing-masing), menyatakan bahwa sandal milik polisi selaku korban yang hilang adalah “Eiger”, tapi barang bukti yang dibawa ke persidangan adalah sandal merek “Ando”. Hakim pun menyatakan barang bukti berupa sandal bukan milik korban. Barang bukti berupa sandal yang diajukan ke pengadilan dianggap bukan barang yang dicuri.
Alat bukti yang tidak jelas pemiliknya menjadi hal yang seharusnya dipertimbangkan dalam proses pengadilan. Ini berarti bahwa saksi pelapor (oknum polisi) statusnya gugur sebagai pelapor yang dirugikan. Kalau fakta seperti barang bukti bukan milik korban maka akan membingungkan kemana arah putusan. Namun pada akhirnya hakim mengatakan bahwa fakta sandal tersebut bukan milik anggota polisi, tidak mengesampingkan tindak pidana pencurian yang dilakukan AAL. Ini tentu aneh. Ini juga bisa menjadi preseden buruk, bahwa suatu saat orang bisa menuduh orang lain mencuri atas barang yang bukan miliknya.
-berlanjut-
artikel selanjutnya:
http://love-law-life.blogspot.com/2012/12/kasus-anak-curi-sandal-2-kembali-ke.html