Sabtu, 29 Desember 2012

Tatapan dari Langit

[LIFE]

Ku hadir di dunia tanpa sebab yg ku tau,
ku tapaki hidup dg beban yg ku tak mampu,
tak bisakah ku jalani semua ini
dengan pelan-pelan saja?

Mengapa aku harus bangkit,
setelah terjatuh dari semangat ini,
kemudian kembali melangkah terus berlari?

Menjadi hidup bukan pilihanku,
namun menjadi mati mengapa ku tak mau...

Satu saja yg ku yakini,
ada tujuan yg harus dicapai,
ada maksud yg harus dijalani,
sebagai bukti bakti pada-Nya,
Ia yg selalu menatap dari langit


November 2012
Selamat datang tahun 2013, mimpi diwujudkan dg bergegas


Jumat, 21 Desember 2012

Kasus Anak Curi Sandal (2) - Kembali ke Paradigma

artikel sebelumnya:
http://love-law-life.blogspot.com/2012/12/kasus-anak-curi-sandal-1-wajah-hukum.html

[LAW]

Ini sangat mengusik rasa keadilan masyarakat. Simpati publik pun menyeruak. Berbagai elemen masyarakat didukung oleh sejumlah LSM, beramai-ramai mengadu ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Tidak heran, sebagai bentuk protes, KPAI kemudian membangun ‘posko sandal keadilan’. Di sejumlah daerah mulai didirikan posko pengumpulan sandal jepit, untuk dikumpulkan kemudian akan diberikan pada oknum polisi, Briptu Ahmad Rusdi. Supaya dia tidak perlu beli sandal ‘seumur hidup’.

Penegak hukum selalu tegas terhadap rakyat, bahkan anak kecil. AAL semestinya tak perlu diadili. Paling tidak kepolisian cukup bertindak sebagai mediator. Selanjutnya, mereka bisa mengundang keluarga, korban, saksi, serta pengurus rukun tetangga setempat untuk membereskan kasus kecil ini. Penanganan seperti ini sebetulnya telah diatur dalam Surat Keputusan Bersama pada 2009. SKB ini diteken oleh Mahkamah Agung, Kementerian Hukum, Kejaksaan Agung, Kementerian Sosial, Kepala Kepolisian RI, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Menurut saya, di usia anak-anak, jiwa belum sepenuhnya dapat mengontrol atau mengsinkronisasi antara apa yang dipikirkan dengan apa yang dikehendaki atau apa yang dia perbuat. Sehingga perilakunya belum bisa dipertanggungjawabkan secara utuh di muka hukum. Tempat paling baik untuk anak yang memiliki masalah adalah keluarga. Oleh Karena itu, anak yang terlibat masalah hukum tidak serta merta diajukan ke meja hijau ataupun mungkin sampai dipenjara. Seharusnya kasus tersebut jangan diteruskan. Proses hukum seharusnya dihentikan dan membebaskan anak tersebut dari segala tuntutan hukum. Kalaupun kesalahan anak tersebut memang pantas untuk mendapat hukuman, cara yang paling tepat untuk menghukum tidak dengan cara-cara tangan besi dan kekerasan. Tetapi justru dengan kekuatan cinta dan kasih sayang. Rehabilitasi dari pihak masyarakat juga sangat dibutuhkan.

Lebih khusus lagi saya ingin mengatakan bahwa aparat kepolisian pada kasus ini terlalu bertindak legalistik. Memang kita hanya mengenal satu sistem hukum pidana, jadi semua perkara pidana akan ditangani polisi dan jaksa yang akan bermuara di pengadilan. Berbeda dengan sistem perdata yang mengenal lembaga mediasi maupun arbitrase. Akibatnya, secara yuridis normatif perkara pidana sekecil apapun harus tetap diproses di pengadilan, termasuk pencurian sandal jepit. Berbeda dengan peradilan di Arab. Arab memiliki sistem pidana dengan hukuman qishas dan potong tangan untuk pencuri. Namun mereka juga memiliki lembaga pemaaf. Jadi jangankan mencuri sandal, membunuh pun di sana bisa dimaafkan seperti yang terjadi terhadap Darsem.

Kalau lah boleh saya singgung mengenai karakter bangsa Indonesia yang kita ketahui bahkan oleh masyarakat Internasional, apakah sifat “tenggang rasa”, ke”ramah-tamahan”, hingga rasa “kekeluargaan” yang dimilki oleh bangsa ini telah tergerus dan kelak akan terus terkikis hingga nanti akan hilang sama sekali? Tradisi bangsa yang luhur pada akhirnya ternyata semakin luntur. Tidak bisakah kita menghidupkanya kembali, selayaknya Jepang yang terus mampu mempertahankan “budaya maaf”-nya hingga saat ini? Dengan kata lain, pada kasus AAL ini sangat disayangkan mengapa Briptu Ahmad Rusdi selaku korban tidak mau menyelesaikan permasalahan ini secara bijaksana. -habis-



November 2011

Minggu, 16 Desember 2012

Kasus Anak Curi Sandal (1) - Wajah Hukum Indo

[LAW]

Sungguh gesit penegak hukum menjerat kaum yang lemah. Hanya gara-gara mencuri sepasang sandal seharga Rp 30 ribu, Seorang anak remaja harus diseret ke pengadilan. Hasil sidang memutuskan remaja 15 tahun ini bersalah. Walaupun hakim akhirnya mengembalikan remaja ini kepada orang tuanya, tetap saja tindakan itu melukai perasaan masyarakat. Rasa keadilan masyarakat tercabik lantaran, di sisi lain, penegak hukum seolah tak berdaya menghadapi penjabat atau orang kaya. Kita juga semakin prihatin lantaran penegak hukum seakan cuma berani menangani pencuri sandal, dan bukan maling kakap seperti pencuri anggaran negara.

Inilah potret buram penegakan hukum di Indonesia. Hanya karena sandal, ataupun pada kasus-kasus yang sudah-sudah seperti kakao, semangka, pisang ataupun piring rakyat kecil dengan mudahnya dipidana. Lantas mengapa kasus-kasus besar seperti Century, mafia pajak, dan beberapa kementerian terkesan jalan di tempat? Dari banyaknya aksi demontrasi dari berbagai elemen masyarakat yang mendesak agar proses hukum pada kasus anak mencuri sandal ini dihentikan ataupun pengadilan dapat membebaskan anak tersebut. Hal ini menggambarkan bagaimana masyarakat sama sekali tidak sepaham dengan apa yang telah dilakukan oleh aparat penegak keadilan. Lantas apakah yang seharusnya dilakukan terhadap kasus ini? Secara Paradigmatik tentu tiap-tiap orang memiliki kearifannya masing-masing.

Apakah sudah ingat dengan kejadian pada November 2011 silam tersebut? Saat seorang anak remaja bernama AAL (15 tahun) mencuri sandal seharga Rp 30 ribuan di rumah kos seorang polisi di Palu. Sang polisi pun memproses kasus itu ke ranah hukum. Kejaksaan Negeri Kota Palu merespons kasus ini dengan melimpahkan kasusnya ke pengadilan.

Menahan dan mengadili seorang bocah memang tak dilarang oleh UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Tapi aturan ini seharusnya tidak diterapkan secara membabi-buta. Pengadilan terhadap anak harus dilakukan dengan pertimbangan sangat matang. Itu pun cuma boleh diterapkan pada anak dengan kejahatan berat, seperti pembunuhan. Jaksa dalam dakwaannya menyatakan AAL melakukan tindak pidana sebagaimana pasal 362 KUHP Pidana tentang pencurian dan diancam 5 tahun penjara.

Hakim Pengadilan Negeri Palu Sulawesi Tengah memutuskan AAL terbukti bersalah mencuri sandal milik seorang anggota polisi. Hakim mengatakan dari fakta persidangan dan keterangan saksi-saksi, AAL secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana melanggar hukum. Namun remaja berumur 15 tahun itu tidak dikenai pidana penjara ataupun kurungan, melainkan dikembalikan ke orang tuanya. Sesuai dengan putusan hakim, AAL memang dikembalikan kepada orang tuanya. Tapi ia telanjur divonis bersalah. Stigma sebagai pencuri adalah beban yang sangat berat bagi AAL.

Di luar daripada itu, terdapat pula beberapa kejanggalan yang muncul dalam persidangan. Salah satunya ialah ternyata jaksa tidak bisa menghadirkan barang bukti. Dalam persidangan, dua orang saksi berusia 16 dan 14 tahun (dengan didampingi oleh kedua orang tua masing-masing), menyatakan bahwa sandal milik polisi selaku korban yang hilang adalah “Eiger”, tapi barang bukti yang dibawa ke persidangan adalah sandal merek “Ando”. Hakim pun menyatakan barang bukti berupa sandal bukan milik korban. Barang bukti berupa sandal yang diajukan ke pengadilan dianggap bukan barang yang dicuri.

Alat bukti yang tidak jelas pemiliknya menjadi hal yang seharusnya dipertimbangkan dalam proses pengadilan. Ini berarti bahwa saksi pelapor (oknum polisi) statusnya gugur sebagai pelapor yang dirugikan. Kalau fakta seperti barang bukti bukan milik korban maka akan membingungkan kemana arah putusan. Namun pada akhirnya hakim mengatakan bahwa fakta sandal tersebut bukan milik anggota polisi, tidak mengesampingkan tindak pidana pencurian yang dilakukan AAL. Ini tentu aneh. Ini juga bisa menjadi preseden buruk, bahwa suatu saat orang bisa menuduh orang lain mencuri atas barang yang bukan miliknya. -berlanjut-

artikel selanjutnya:
http://love-law-life.blogspot.com/2012/12/kasus-anak-curi-sandal-2-kembali-ke.html

Jumat, 07 Desember 2012

Pilihan Kehidupan

[LIFE]

Mungkin aku hanyalah pohon cabai
yg tingginya tiada semampai
namun menghasilkan sesuatu yg bermutu
mungkin hingga nanti anak-cucu
jadi tak perlulah aku menjadi cemara
yg menjulang namun tiada buahnya

Mungkin aku cumalah dua roda
yg berada tertindas di bawah sana
namun dapat menjalankan sepeda pergi kemanapun
membawa penggunanya berolahraga di pagi yg berembun
jadi tak haruslah aku menjadi mobil mewah
yg indah namun membuat kemacetan semakin parah

maka dunia berhentilah
berhentilah menuntut segalanya
segalanya tentang aku
aku telah menentukan pilihan
pilihan atas keputusan
keputusan akan peran kehidupan
kehidupan ku sendiri

karena tak selamanya terdapat keindahan
berasal dari coretan tinta di kanvas termahal
karena tak dapat dipastikan kebahagiaan
dirasa oleh mereka yg memiliki jabatan tinggi atau dangkal
karena tidak semua kenikmatan pada makanan
terolah dari bahan pilihan yg halal


Desember 2012 
- terinspirasi dari puisi Taufiq Ismail "Kerendahan Hati"