Minggu, 28 Oktober 2012

SH Bukan Super Hero

[LAW]

Seorang mahasiswa, baru saja menyelesaikan studi perguruan tingginya. Dengan sah kini ia menyandang gelar sederhana sebagai seorang Sarjana Hukum (SH). 23 tahun usianya, 15 tahun ia habiskan untuk sekolah, 5 tahun untuk kuliah, berarti kurang lebih 3 tahun sisa ia menganggur selama hidupnya. Yang sama-sama dapat kita ketahui, tentu sang SH akan berharap semoga 3 tahun itu tidak bertambah setelah ia berstatus SH tersebut. Namun dalam masa peralihan ini mau tak mau ia sandang dulu gelar pengangguran itu. Dengan tidak mengubah sama sekali pola hidupnya, ia selalu saja tidur malam lebih cepat agar keesokan harinya ia dapat menganggur tepat waktu.

Beberapa hari setelah wisuda, ia menjalani sisa-sisa harinya di tanah rantauan dengan tiada sibuk seperti biasanya. Pada hari itu, ia menunda mandi paginya dan akan melakukannya di akhir-akhir waktu dhuha. Siang pukul 12:04, bergegaslah ia pergi sholat jum'at di masjid rakyat terdekat langganannya. Datang di pertengahan adzan mengisi shaff tengah, menghormati sepuh untuk mengisi garis-garis terdepan. 'Panitera' telah mempersiapkan segala sesuatunya, kini saatnya 'Majelis Hakim' memulai acaranya. Terasa hikmat sekali 'sidang' jumat saat itu.

Mengawali 2 rakaat shalat ia bawa dg khusyuk. Namun tidak lagi kala ia menatap pakaian jama'ah di depannya, "Muslim Negarawan". Seketika itu ia berpikir bagaimana agar ia terus mampu konsisten mempertahankan idealismenya. Menjadi pioneer perubahan pada setiap permasalahan umat dan bangsa. Sebagai seorang SH ia harus mampu menjadi problem solver yang ahli dan dapat selalu memberikan kemanfaatan seluas-luasnya. Tanpa terasa sholat pun selesai, selesai pula segenap pikiran dan rencananya. Memang, beberapa kali pakaian bertulis di punggung memancing lamunannya.

Pulanglah ia berjalan kaki dengan ritme pelan sambil mengucapkan "La ilaha illallah" tiap 4 langkahnya. Tiba-tiba ia terhenti pada satu rumah sederhana khas jawa, mendengar perbincangan pria dengan seorang janda renta (baca: nenek).
Pria: "Nah, nenek sering ga makan kan? Butuh duit kan? Sama saya juga..."
Nenek: "Yaudah kalau begitu apa yang mesti nenek lakukan?"
Pria: "Begini, nenek pergi ke perkebunan singkong di desa seberang, tiap subuh nenek ambil singkongnya buat makan kita nek."
Nenek: "Wah nenek takut di sidang kalau ketauan mencuri."
Pria: "Yaelah nek, kalau pun digugat ke persidangan, nenek nanti bakal diperingan sama hakim, masyarakat juga jadi iba ke nenek."
Nenek: "Tapi ntar keenakan yang ngelapor nenek ke pengadilan, dia bakal dapat lebih banyak singkong dari 'Gerakan 1000 singkong untuk keadilan'. Nenek emooh ah."

Sang SH pun termenung, sambil kembali mengayuh langkah-langkahnya. Sebenarnya akan seperti apa paradigma hukum kedepannya. Bukannya nenek tersebut hanya ingin hidup, sehingga ia hanya perlu melakukan suatu cara untuk tetap bertahan hidup? Apakah cara yang disarankan oleh pria tersebut salah? Bukankah setiap insan diwajibkan untuk mempertahankan hidup? Bukankah alasan bunuh diri itu dilarang karena setiap orang tidak boleh mematikan kehidupannya? Siapa yang bertanggung jawab atas kenyataan ini?

Sesampainya di rumah sang SH terus termenung. Sambil terus berpikir ia menyetel musik. **Aku memang orang luar biasa**Yang tlah sempurna**Gak punya salah**Namun di hatiku ada banyak**Cinta untukmu**Biasa sajaaa** Pada akhirnya ia memutuskan untuk membeli buku untuk menambah wawasannya mengenai topik masalah ini.

Pergilah sang SH mencari toko buku. Ia sempat bingung untuk memilih toko buku mana yang akan ia kunjungi, antara toko buku Grameaku, Gramekamu, atau Gramedia. Akhirnya ia memilih Gramedia sebagai labuhannya. Dengan cepat matanya tertuju pada suatu judul buku: "Salah Dihujat, Benar Dikata Pencitraan (Nasib Pemimpin Indonesia Kini)". Sejenak ia melihat isi dompetnya:
-I Gusti Ngurah Rai untuk beli buku
-Sultan Mahmudi Badaruddin II untuk beli bensin
-Tuanku Imam Bondjol untuk makan
-Pangeran Antasari untuk  bayar parkir
-Kapitan Pattimura lumayanlah untuk sedekah
Akhirnya dibelilah buku itu lalu sang SH pulang ke rumah. Bergegaslah ia membaca buku itu. Seketika ia mulai larut dalam bacaan.

Selama 15 th sang SH menempuh studi dari playgroup-TK-S3 (SD, SMP, SMA), tidak pernah sekalipun menjadi ketua kelas ataupun wakil ketua kelas. Sebagai seorang siswa yang biasa saja, tentu saja ia lebih menghormati ketua kelas dibanding wakil ketua kelasnya. Namun kini setelah lulus S1, mendadak ia punya pertanyaan: rakyat dan wakil rakyat, siapa yang seharusnya lebih dihormati?

Mungkin negara ini penuh sesak dengan cinta. Karena cinta kotoran ayam serasa cokelat, kotoran musang pun serasa sedap, terbukti dengan mahsyurnya kopi luak. Dan cinta memanglah buta, sangat buta. Pokoknya cinta semuanya jadi nikmat. Makanan pokoknya nasi aking pun mau ndak mau mesti dirasa nikmat. Rakyat yang selalu mengais nasi-nasi sisa itu, mengeringkannya lalu memberinya kunyit agar mengurangi rasa asam dari jamur yang menempel. Seperti inikah nasib bangsa kini? Rakyat memakan sampah nasi, sementara nasi terbaik dinikmati oleh wakilnya. Jujur sang SH kesal dengan cinta yang ada di negara ini, sangat kesal.

Setelah membaca buku tersebut sang SH pun sampai pada satu kesimpulan. Bahwa selama ini hukum memang bagai pisau, tajam ke bawah (orang tak berada) namun tumpul ke atas (orang berada). Maka tetaplah hukum seperti pisau itu, tinggal bagaimana kita mengarahkan tajamnya. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas, dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya, maka kehancuran bangsa ini akibat dari ketiadaan Tuhan di hati para pemimpinnya. Maka jagalah iman sebelum menjaga negara ini. Sang SH pun sangat berharap lebih pada takdirnya, namun bila Tuhan mencatatkan lain, maka ia akan tetap melakukan apapun demi bangkitnya bangsa ini. Pada hakikatnya, SH ditakdirkan untuk mengurusi hal-hal besar. Namun jangan pernah menganggap bahwa SH akan selalu menang di akhir perjuangan, karena SH bukan Super Hero.

Juli 2012